Banyaknya kasus sengketa lahan di
banjarbaru mengaharuskan kita ekstra hati-hati sebelum membeli tanah, cek surat
menyuratnya, tanyakan kepada tetangga dan oran disekitar yang tahu riwayat
kepemilikan tanah yang akan dibeli.
Namun tahu kah anda kalau sebagian
besar kasus sengketa tanah di daerah kita terletak pada surat menyuratnya, ada
yang satu tanah tumpang tindih kepemilikan dan ada pula surat bodong.
Banyak yang masih belum tau
mengapa sampai terjadi tumpang tindih kepemilikan tanah di banjarbaru, disini
saya akan sedikit berbagi salah satu penyebab tumpang tindihnya kepemilikan
tanah di Banjarbaru.
Kita ambil "misal"
disebuah kelurahan yang bernama Kampung Ramai (bukan nama aslinya), Kampung
Ramai mempunyai luas wilayah 3.502,84 Ha dengan jumlah penduduk kurang lebih
24.282 jiwa terbagi dari 7 Rw dan 51 RT. Sekarang kelurahan ini terbilang cukup
ramai, dan harga tanah sudah lumayan mahal, dari kisaran 100 ribu/meter sampai
500 ribu/meter persegi.
Namun kalau menggali lebih jauh
tentang sejarah, sekitar tahun 1970 sampai 1980 an, Kampung Ramai masih berupa hutan
belantara, perkebunan, dan sedikit sekali persawahan, akan tetapi karen
tanahnya yang subur dan semakin banyaknya imigrasi penduduk lokal dan dari luar
pulau, membuat Kampung Ramai menjadi mulai ramai, kebayakan dari mereka datang
untuk bercocok tanam, agar tidak terjadi kekacauan maka para penduduk membentuk
yang namanya rukun tani, dan ditunjuklah seorang pemimpin yang diberi gelar
"Kepala Padang", Tugas kepala padang diantaranya adalah menjaga kerukunan
antar petani dan menyelesaikan permasalahan antara petani, seperti permasalahan
pembagian lahan dan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.
Pada Tahun 1985 Kepala Padang
membagikan tanah Negara melalui musyawarah dengan kepala desa sebanyak 100
hektar untuk 50 kepala keluarga pada saat itu, masing-masing mendapatkan lahan
garapan 2 hektar per kepala keluarga.
Akan tetapi, dari 50 kepala
keluarga yang diberikan Hak penggarapan lahan hanya 25 kepala keluarga yang
memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Ditahun berikutnya semakin banyak petani
yang meninggalkan kebunnya karena dinilai kurang prduktif. Dan setalah 4 tahun
hanya tersisa 10 kepala keluarga yang menggarap lahan disana, dan posisi kepala
padang pun berganti, dibawah kepemimpinan kepala padang yang baru di tahun 1990
tanah dibagi kembali kepada 50 kepala keluarga dengan jatah masing-masing 2
hektar.
Namun kejadian serupa terulang
kembali, setelah beberapa tahun, banyak petani yang enggan bercocok tanam
dengan berbagai alasan, akan tetapi mereka sempat memegang surat izin garapan
yang di kelaurkan oleh kepala desa sebagai dasar hukum kalau mereka berhak
bercocok tanam diatas tanah tersebut.
Ada diantara mereka yang meningkatkan surat
ijin garapan menjadi SKT (sporadik) baik orang yang benar-benar menggarap atau
hanya pegang surat ijinnya saja, padahal menurut peraturan yang berlaku,
apabila tanah/lahan yang tidak digarap, dikelola dan dipelihara selama 3 tahun
berturut-turut maka tanah kembali menjadi tanah Negara, dan dalam hal ini
kepala padang atas dasar ijin kepala desa boleh membagikannya lagi kepada
masyarakat untuk dikelola sebagai pertanian ataupun perkebunan.
Disisi lain, setelah masalah
beberapa kali pergantian kepala padang dan beberapa kali pembagian tanah,
kurang memadainya system administrasi di kala itu juga ikut andil dalam carut
marutnya kasus sengketa tanah saat ini, banyak yang membuat surat tanah (SKT
bahkan ada yang samapai membuat Sertipikat) hanya berdasarkan surat ijin garapan
padahal lahannya tidak dikelola dengan baik, dan itu terjadi bukan Cuma sekali
atau dua kali, beberapa kali dan banyak orang.
Dulu banyak orang yang
meninggalkan lahannya karena hanya dinilai kurang produktif untuk berkebun dan
bertani, lagipula waktu itu mereka mendapatkannya secara cuma-cuma, belum
sempat memikirkan bahwa lahan yang mereka dapat nantinya akan berharga tinggi,
sehingga dengan mudahnya mereka meninggalkannya untuk mencari lahan di lain
tempat atau mencari pekerjaan lain.
Setelah puluhan tahun berlalu,
kota semakin berkembang, dan Kampung Ramai pun menjadi sebuah Kelurahan, dengan
lokasi yang sangat strategis, sangat dekat dengan pusat kota, lahan yang
tersedia cukup banyak dan kontur tanah sesuai dengan perumahan, maka banyak
developer yang mengincar lahan di daerah Kampung Ramai, drastis hanya dalam 5
tahun banyak sekali perumahan yang sudah dibangun.
Melihat prospek yang begitu menggiurkan para developer ramai-ramai berekspansi ke Kampung Ramai dan berburu lahan disana, permintaan akan lahan yang begitu tinggi ditambah perkembangan Desa yang sangat baik menjadikan harga tanah menjadi mahal dan tinggi. Para pemilik lahan pun berbondong-bondong bagai menyambut raja menyiapkan surat tanah yang sudah puluhan tahun hanya tersimpan di dalam peti.
Melihat prospek yang begitu menggiurkan para developer ramai-ramai berekspansi ke Kampung Ramai dan berburu lahan disana, permintaan akan lahan yang begitu tinggi ditambah perkembangan Desa yang sangat baik menjadikan harga tanah menjadi mahal dan tinggi. Para pemilik lahan pun berbondong-bondong bagai menyambut raja menyiapkan surat tanah yang sudah puluhan tahun hanya tersimpan di dalam peti.
Dan disini lah terjadinya
kekacauan, saat si A membawa surat atas satu hektar tanah, sedangkan si B
membawa pula surat atas 2 hektar tanah yang ternyata lahannya sama dengan si A,
mereka salim klaim, saling adu argument sampai adu otot.
Ya, mungkin itu adalah salah satu
kronologi adanya tumpang tindih lahan di daerah kita, karena dulu harga tanah
yang sangat murah bahkan gratis bisa diabaikan dan ditelantarkan begitu saja,
sekarang menjadi mahal dan sangat berharga lalu masing-masing mengaku punya hak
dan mengklaim sebagai pemilik sah.