Ilustrasi foto (sumber : peteearley.com) |
Sistem bagi hasil atau dalam istilah lain adalah profit and loss sharing, yang artinya jika ada keuntungan maka akan dibagi antara pemilik modal dan pengelola usaha berdasarkan persentase yang telah disepakati, dan jika terjadi kerugian, maka juga akan ditanggung bersama.
Kelebihan menggunakan skema bagi
hasil ini dibandingkan dengan pinjaman atau hutang, pengelola usaha tidak
menanggung semua akibat dari kerugian, dan juga tidak perlu adanya jaminan
asset, jadi jika terjadi hal yang paling buruk sekalipun, tidak ada istilah
asset atau jaminan yang disita.
Namun, untuk menjalankan skema
sistem bagi hasil ini, pencatatan keuangan perusahaan harus benar-benar jelas,
pengelola berkewajiban untuk memberikan laporan secara berkala kepada para
investor, jika pencatatan keuangannya kacau, tidak jelas berapa jumlah uang
masuk, berapa jumlah uang keluar, berapa keuntungan, berapa kerugian, untuk apa
saja uangnya digunakan, maka ini adalah hal yang sangat berbahaya. Apalagi jika
keuangan perusahaan dicampur dengan keuangan pribadi.
Pemilik modal berhak untuk mendapatkan
laporan keuangan dalam jangka waktu tertentu, dan dalam beberapa kasus, Pemilik modal juga punya
hak atau suara untuk mengambil keputusan penting terkait masa depan perusahaan.
Dengan skema bagi hasil, pemilik
modal juga bisa melakukan tuntutan pidana dengan pasal penggelapan kepada
pengelola usaha jika dalam laporan keuangan terdapat adanya kecurangan atau
memang tidak pernah sama sekali menerima laporan keuangan, karena kasus penggelapan
bukan lagi dalam ranah hukum perdata, tapi masuk ke ranah pidana.
Contohnya si A dalah pemilik
modal, dan si B adalah pengelola usaha, si B membuat sebuah proposal kerjasama
kepada si A untuk memberikan modal sebuah usaha, dengan modal 100 juta si
B menjelaskan estimasi keuntungan sekitar 200 juta ditambah pengembalian modal
100 juta kepada si A, jadi total uang yang akan diterima si A adalah 300 juta
dengan jangka waktu proyek selama 60 bulan, Artinya rata-rata si A akan
mendapat 5 juta setiap bulannya.
Karena ini adalah sistem bagi
hasil, maka si B menjelaskan kembali bahwa besaran uang yang akan diterima oleh
si A mungkin tidak akan sama setiap bulannya, bisa kurang, atau lebih dari 5
juta, tergantung berapa jumlah keuntungan yang diterima bulan itu, dan
diberikan sesuai persentase nilai bagi hasil.
Selama berjalan sekitar 2 tahun,
setiap bulannya si A hanya diberikan uang oleh si B sebesar 5 juta setiap
bulannya, tanpa disertai adanya laporan keuangan, si A pun tidak curiga, karena
angka yang didapatnya masih sesuai dengan perkiraan, karena lancar dan dirasa
normal, si A pun tidak pernah meminta laporan dan pertanggungjawaban keuangan
kepada si B.
Namun, setelah memasuki tahun ke
3, si B sudah tidak bisa lagi memberikan uang 5 juta setiap bulan kepada si A,
terkadang kurang dari 5 juta, bahkan tidak dapat sama sekali, si A mulai curiga
adanya masalah keuangan di perusahaan, dan mencoba untuk mendiskusikannya
dengan si B, dengan alasan penjualan yang menurun, sehingga bagi hasil tidak
bisa dilakukan setiap bulan, lalu si A meminta laporan keuangan dan laporan
penjualan kepada si B, tapi laporannya amburadul dan tidak jelas, karena kesal,
si A akhirnya melaporkan si B ke pihak berwenang dengan pasal penggelapan, dan
si A akan diproses dengan penanganganan secara pidana.
Selain buruknya sistem laporan
keuangan, ada contoh kasus lagi yang bisa menyebabkan adanya tuntutan hukum
secara pidana dengan pasal penggelapan
kepada pengelola usaha, yaitu menggunakan uang modal yang telah disepakati
untuk usaha tertentu, namun digunakan oleh pengelola untuk usaha yang lain.
Contohnya dalam bisnis properti,
Si A adalah seorang investor, dan si B adalah developer, Si B menawarkan
kerjasama permodalan kepada si A untuk proyek 3 buah rumah mewah, dengan
keperluan modal awal 1 milyar, untuk pembayaran DP tanah, pembangunan rumah,
dan perijinan.
Maka Si A sepakat untuk
menyerahkan uang 1 milyar kepada Si B sebagai modal dengan kesepakatan bagi
hasil 70:30, dan proyek selesai dalam jangka waktu maksimal 6 bulan.
Namun Si B bukannya mengamankan
dan membagi-bagi uang untuk keperluan proyek, tapi malah membeli mobil baru
seharga 200 juta dan sebulan kemudian Si B juga membeli satu petak tanah
seharga 400 juta, karena sangat murah dan jauh dari harga pasaran, dan itu
tanpa sepengetahuan si A.
Si B berharap bahwa tanah yang di
belinya senilai 400 juta bisa terjual kembali dalam 2 bulan dengan nilai 600 juta.
Dua bulan berlalu, ternyata rumah
yang akan dibangun sudah habis dipesan orang, namun untuk membangun rumah, si B
sudah tidak cukup uang lagi.
setelah 6 bulan, satu petak tanah
yang dibeli dengan harga 400 juta belum juga laku, mobil sudah dijual dengan
harga yang murah juga belum bisa menutupoi biaya operasional, akhirnya rumah
tak kunjung selesai, karena kesal si A sebagai pemilik modal melaporkan si B ke
Polisi dengan pasal penggelapan.
Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan
Pasal 372 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374 KUHP:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan. (Sumber).
Berbeda dengan modal dari uang
pinjaman atau hutang, maka dalam kesepakatannya, pengelola usaha hanya
berkewajiban untuk mengembalikan uang pemodal dengan jangka waktu dan jumlah
tertentu, tanpa perlu adanya laporan keuangan, dan pemilik usaha juga lebih
bebas dan leluasa untuk menggunakan uang tersebut tanpa harus ada ijin dari
pemodal, tinggal pengelola saja yang harus bijak membelanjakannya untuk apa
saja.
Akan tetapi, dengan skema pinjaman atau
hutang, biasanya mengharuskan adanya agunan atau jaminan atas uang yang
diberikan, jika terjadi hal yang terburuk, misalkan bangkrut, maka
kemungkinannya adalah penyitaan jaminan oleh pihak pemberi pinjaman, jika si
pengelola masih bersikeras tidak mau melunasi atau tidak mau assetnya disita,
maka jalur hukum yang ditempuh pun hanya melalui jalur perdata saja.