Bincang-bincang tentang properti & berbagi cerita peluang investasi.

11 Nov 2014

Masalah Akad KPR Bank Syariah

22:49 Posted by Irfan albanjarie , 1 comment

Kalau mau dagang (sebagai developer, broker, flipper) ya harus tahu rukun dan syarat sah nya jual beli, supaya jangan sampai jerih payah dan usaha kita malah menjadi dosa karena melakukan perdagangan yang ternyata dilarang oleh agama. Termasuk kalau mau jual beli rumah. tapi karena salah satu rukun jual beli adalah "pembeli", maka pembeli pun wajib tahu rukun dan syarat sahnya jual beli, apalagi urusannya KPR Bank. kita wajib mengetahui bagaimana rukun dan syaratnya sebelum membeli rumah lewat Bank, sekalipun itu adalah Bank Syariah.

Sudah sah kah menurut syara' dan sudah bebas kah dari unsur riba ?
Silakan dikoreksi dan diteliti dulu kalimat yang bergaris bawah dalam foto di atas....!!! Bagaimana pendapat Anda ????

Dikutip dari sebuah buku yang berjudul "Menjawab Keraguan Umat islam Terhadap Bank Syariah" (yang ditulis oleh, Ir. H. M. Nadratuzzaman,MS,M.Ec. Ph.D, AM. Hasan Ali, MA dan Ach. Bakhrul Muchtasib, SEI, M.si) dengan jelas dan tegas mereka mengatakan kalau dalam akad Murabahah pada bank Syariah, "Bank Syariah lebih dulu melakukan transaksi jual-beli secara tunai dengan pihak developer" lalu dijual kembali kepada nasabah dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.

Kalau ini benar terjadi, insya Allah mereka (penulis buku) yang lebih pandai dan lebih mengerti tentang hukum agama serta ilmu ekonomi pasti mengatakan ini sudah benar dan sah menurut syariat.
Kalau benar terjadi ? maksudnya ? apa kejadiannya tidak seperti itu ? Ayo kita koreksi satu persatu......

(Yang lebih tau dan lebih mengerti tentang akad ini mohon masukan dan analisanya juga). Contoh Kasus : Bapak Jhonn ingin membeli rumah untuk tempat tinggal, karena sudah beberapa tahun tinggal di rumah kotrakan, setelah melihat-lihat iklan dan beberapa brosur perumahan, Pak Jhonn tertarik dengan perumahan "Gubuk Indah" dan memutuskan untuk mendatangi kantor pemasaran perumahan tersebut. lalu terjadi lah percakapan antara Pak Jhonn dengan marketing disana. singkat cerita !!!

Pak Jhonn : jadi kalau mau kredit saya harus bayar DP berapa Mas ?
Marketing : untuk DP minimal 30% dari harga Pak.
Pak Jhonn : lalu untuk kredit enaknya Bank Syariah mana ya Mas ??
Marketing : saya punya kenalan di beberapa Bank Syariah, nanti kita masukan saja aplikasinya ke tiga bank sekaligus Pak,kalau ada kendala nanti kami bantu sa mpai beres. terserah Bank mana nantinya yang tembus duluan.
Pak Jhonn : oooh begitu, oke deh, berarti saya bayar DP nya dulu ya 30%. tapi bantu ya buat kredit di Bank.
Marketing : ya Pak, Pasti kami Bantu...

Singkat kisah, setelah Pak Jhonn membayar DP 30%, beberapa hari kemudian aplikasi sudah dikirim ke beberapa bank, kemudian dari pihak bank melakukan survey kepada calon nasabah, bla...bla...bla, akhirnya Bank Syariah "Indah Rugi" menyetujui permohonan kredit pak Jhonn, dan beberapa hari kemudian pihak developer dan Pak Jhonn diundang datang ke Bank untuk melakukan akad kredit di hadapan Notaris dan pimpinan Bank Indah Rugi.

Akad kredit selesai, lalu Bank menyetorkan sejumlah uang ke rekening developer untuk melunasi sisa hutang Pak Jhon sebesar 70% dari harga rumah tadi, lalu Bank menyimpan surat menyurat (sertipikat dan lain-lain sebagai jaminan/agunan) rumah tadi dan Pak jhonn diberikan Skedul pembayaran tiap bulan dengan margin 8% pertahun (misal) dalam jangka waktu 10 tahun. dan pak Jhonn tinggal bayar tiap bulan ke Bank sampai lunas, dan selesai.

Dengan membayar DP 30% dalam kasus ini jelas kalau Pak Jhonn lebih dahulu melakukan transaksi kepada Developer, bukan Bank yang lebih dahulu melakukan transaksi secara tunai. maka dalam hukum, sebenarnya rumah itu sudah menjadi milik Pak Jhonn, dan sisanya adalah hutang piutang.

Dan kalimat Bank membayar secara tunai, maksudnya disini membayarnya langsung dari 100% harganya, bukan sisa hutang yang 70%. kenapa Bank tidak bisa membayar 100% ? karena walaupun Bank Syariah, mereka harus tetap tunduk dengan peraturan BI yang tidak memperbolehkan memberikan pinjaman senilai agunan, untuk rumah dalam kasus ini pinjaman hanya boleh antara 70% sampai 90% dari nilainya. misalkan rumah 100 juta, pinjaman maksimal hanya boleh 90 juta. jadi bahasa tunainya tetap tidak ada.

Saat akad kredit pun, yang bertanda tangan dalam surat menyurat hanya developer dan Pak Jhonn, disana tidak ada bukti tertulis (baik di kwitansi, pajak pembelian atau surat menyurat lainnya) kalau Bank pernah melakukan jual-beli dengan developer....

Silakan anda download, baca dan pelajari bukunya klik DISINI

Sekali lagi coba koreksi, ini sekedar kritis ilmiah antara teori dan realita...!!!!

10 Nov 2014

Salah Satu Penyebab Tumpang Tindih Kepemilikan Tanah Di Banjarbaru

07:56 Posted by Irfan albanjarie No comments

Banyaknya kasus sengketa lahan di banjarbaru mengaharuskan kita ekstra hati-hati sebelum membeli tanah, cek surat menyuratnya, tanyakan kepada tetangga dan oran disekitar yang tahu riwayat kepemilikan tanah yang akan dibeli.

Namun tahu kah anda kalau sebagian besar kasus sengketa tanah di daerah kita terletak pada surat menyuratnya, ada yang satu tanah tumpang tindih kepemilikan dan ada pula surat bodong.

Banyak yang masih belum tau mengapa sampai terjadi tumpang tindih kepemilikan tanah di banjarbaru, disini saya akan sedikit berbagi salah satu penyebab tumpang tindihnya kepemilikan tanah di Banjarbaru.

Kita ambil "misal" disebuah kelurahan yang bernama Kampung Ramai (bukan nama aslinya), Kampung Ramai mempunyai luas wilayah 3.502,84 Ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 24.282 jiwa terbagi dari 7 Rw dan 51 RT. Sekarang kelurahan ini terbilang cukup ramai, dan harga tanah sudah lumayan mahal, dari kisaran 100 ribu/meter sampai 500 ribu/meter persegi.

Namun kalau menggali lebih jauh tentang sejarah, sekitar tahun 1970 sampai 1980 an, Kampung Ramai masih berupa hutan belantara, perkebunan, dan sedikit sekali persawahan, akan tetapi karen tanahnya yang subur dan semakin banyaknya imigrasi penduduk lokal dan dari luar pulau, membuat Kampung Ramai menjadi mulai ramai, kebayakan dari mereka datang untuk bercocok tanam, agar tidak terjadi kekacauan maka para penduduk membentuk yang namanya rukun tani, dan ditunjuklah seorang pemimpin yang diberi gelar "Kepala Padang", Tugas kepala padang diantaranya adalah menjaga kerukunan antar petani dan menyelesaikan permasalahan antara petani, seperti permasalahan pembagian lahan dan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.

Pada Tahun 1985 Kepala Padang membagikan tanah Negara melalui musyawarah dengan kepala desa sebanyak 100 hektar untuk 50 kepala keluarga pada saat itu, masing-masing mendapatkan lahan garapan 2 hektar per kepala keluarga.

Akan tetapi, dari 50 kepala keluarga yang diberikan Hak penggarapan lahan hanya 25 kepala keluarga yang memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Ditahun berikutnya semakin banyak petani yang meninggalkan kebunnya karena dinilai kurang prduktif. Dan setalah 4 tahun hanya tersisa 10 kepala keluarga yang menggarap lahan disana, dan posisi kepala padang pun berganti, dibawah kepemimpinan kepala padang yang baru di tahun 1990 tanah dibagi kembali kepada 50 kepala keluarga dengan jatah masing-masing 2 hektar.

Namun kejadian serupa terulang kembali, setelah beberapa tahun, banyak petani yang enggan bercocok tanam dengan berbagai alasan, akan tetapi mereka sempat memegang surat izin garapan yang di kelaurkan oleh kepala desa sebagai dasar hukum kalau mereka berhak bercocok tanam diatas tanah tersebut.

 Ada diantara mereka yang meningkatkan surat ijin garapan menjadi SKT (sporadik) baik orang yang benar-benar menggarap atau hanya pegang surat ijinnya saja, padahal menurut peraturan yang berlaku, apabila tanah/lahan yang tidak digarap, dikelola dan dipelihara selama 3 tahun berturut-turut maka tanah kembali menjadi tanah Negara, dan dalam hal ini kepala padang atas dasar ijin kepala desa boleh membagikannya lagi kepada masyarakat untuk dikelola sebagai pertanian ataupun perkebunan.

Disisi lain, setelah masalah beberapa kali pergantian kepala padang dan beberapa kali pembagian tanah, kurang memadainya system administrasi di kala itu juga ikut andil dalam carut marutnya kasus sengketa tanah saat ini, banyak yang membuat surat tanah (SKT bahkan ada yang samapai membuat Sertipikat) hanya berdasarkan surat ijin garapan padahal lahannya tidak dikelola dengan baik, dan itu terjadi bukan Cuma sekali atau dua kali, beberapa kali dan banyak orang.

Dulu banyak orang yang meninggalkan lahannya karena hanya dinilai kurang produktif untuk berkebun dan bertani, lagipula waktu itu mereka mendapatkannya secara cuma-cuma, belum sempat memikirkan bahwa lahan yang mereka dapat nantinya akan berharga tinggi, sehingga dengan mudahnya mereka meninggalkannya untuk mencari lahan di lain tempat atau mencari pekerjaan lain.
Setelah puluhan tahun berlalu, kota semakin berkembang, dan Kampung Ramai pun menjadi sebuah Kelurahan, dengan lokasi yang sangat strategis, sangat dekat dengan pusat kota, lahan yang tersedia cukup banyak dan kontur tanah sesuai dengan perumahan, maka banyak developer yang mengincar lahan di daerah Kampung Ramai, drastis hanya dalam 5 tahun banyak sekali perumahan yang sudah dibangun.

Melihat prospek yang begitu menggiurkan para developer ramai-ramai berekspansi ke Kampung Ramai dan berburu lahan disana, permintaan akan lahan yang begitu tinggi ditambah perkembangan Desa yang sangat baik menjadikan harga tanah menjadi mahal dan tinggi. Para pemilik lahan pun berbondong-bondong bagai menyambut raja menyiapkan surat tanah yang sudah puluhan tahun hanya tersimpan di dalam peti.

Dan disini lah terjadinya kekacauan, saat si A membawa surat atas satu hektar tanah, sedangkan si B membawa pula surat atas 2 hektar tanah yang ternyata lahannya sama dengan si A, mereka salim klaim, saling adu argument sampai adu otot.

Ya, mungkin itu adalah salah satu kronologi adanya tumpang tindih lahan di daerah kita, karena dulu harga tanah yang sangat murah bahkan gratis bisa diabaikan dan ditelantarkan begitu saja, sekarang menjadi mahal dan sangat berharga lalu masing-masing mengaku punya hak dan mengklaim sebagai pemilik sah.