Kemarin, salah satu headline situs portal berita menjadi buah bibir di kalangan nitizen, tentang kasus dieksikusinya rumah eks kepala desa Jetis Edi Sasmito di Dusun Wonoayu, Desa/Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Gara-gara tidak bisa melunasi sisa hutangnya di Bank, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta. Bisa dibaca berita lengkapnya di sini.
Ini cuma satu dari sekian banyaknya kasus kredit macet yang berujung penyitaan, entah berapa banyak barang agunan yang sudah diambil alih oleh pihak bank, pembiayaan, leasing, pegadaian dan usaha-usaha sejenis yang menawarkan kredit atau pinjaman dengan menggunakan barang agunan atau jaminan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2015 saja, besaran NPL atau jumlah kredit macet perbankan nasional mencapai Rp104,99 triliun, atau sekitar 2,65 persen dari total kredit perbankan nasional yang mencapai Rp3.950,61 triliun.
Walaupun secara persentase terlihat kecil, tidak sampai tiga persen, namun kalau melihat uangnya yang sangat banyak, bisa dibayangkan dengan Rp100 triliun saja berapa besar jumlah nilai agunan yang ada di perbankan dan lembaga pembiayaan. karena yang seratus triliun itu cuma pokok yang masih harus dibayar oleh debitur.
Kalau melihat disekeliling kita, apalagi di daerah perkotaan yang padat, ada banyak sekali rumah, tanah, toko, ruko yang disegel atau dicap oleh pihak bank karena kreditnya macet, tentu saja ini merupaka aib tersendiri bagi pemilik aset tersebut. penunggakan pembayaran memiliki alasan masing-masing, ada usaha yang tidak stabil, pendapatan yang pas-passan, pengeluaran tak terduga hingga memang karena gaya hidup.
Namun alasan yang paling mendasar dari semua masalah itu cuma satu "HUTANG" ya, apa pun bentuknya, kredit konsumtif kah, modal usaha kah, KPR kah, yang jelas hutang bikin susah tidur, serasa dikejar target tiap hari, bikin stress, apalagi tidak bisa bayar. Jadi, dari peristiwa yang menimpa Pak Edi Sasmito tadi ada beberapa pelajaran yang bisa diambil,
Pertama, jangan meminjam uang dengan agunan yang nilainya tidak sesuai dengan nilai hutang, karena dari bank atau pembiayaan sendiri juga sudah punya standart untuk nilai agunan dan jumlah pinjaman, sekitar 70 sampai 90 persen, misalkan ingin meminjam Rp70 juta, maka agunan paling tidak sekitar Rp100 juta, jangan konyol hanya pinjam Rp70 juta, agunannya senilai Rp500 juta. Walaupun kita perhitungkan bisa bayar, tapi risikonya sangat besar.
Kedua, Jangan menjadikan agunan barang yang bukan hak milik kita pribadi, bank dan lembaga keuangan non-bank pun punya standart, mereka tidak akan menyetujui agunan yang bukan milik pribadi pemohon, memang bisa saja diakali, pengajuan pinjaman atas nama pemilik agunan atau pakai surat surat menyurat apa lah, namun risikonya juga sangat besar, kalau agunan adalah tempat tinggal satu-satunya kita dan keluarga, dan tidak punya rumah lain apa yang akan terjadi kalau kreditnya macet dan seandainya disita oleh bank, apalagi yang diagunkan adalah milik orang tua, saudara atau keluarga, selain mendapatkan kerugian materil, hubungan dengan keluarga pun bisa-bisa terancam.
Ketiga, Jangan main-main dengan hukum, jangan anggap gampang proses sita-menyita, tapi kalau saat ini kita mengalami masalah kredit macet atau suatu saat dihadapkan dengan kredit macet (mudahan jangan pernah, Amiiin), sebenarnya masih ada beberapa cara yang bisa kita tempuh sebelum agunannya disita, walaupun bank dan lembaga pembiayaan adalah badan hukum, tapi tetap saja isinya manusia, artinya masih bisa bernegosiasi, bisa minta keringanan pembayaran, penjadwalan ulang pembayaran, nego supaya cicilannya dibuat lebih kecil dan lebih lama, atau kalau berupa kredit yang masih jalan bisa dijual dengan cara take oper.
Keempat, Jangan mulai kebiasaan berhutang, sekali mencoba banyak yang ketagihan, kalau memang terpaksa lebih baik mencari pinjaman kepada keluarga atau orang terdekat, tapi juga pakai jaminan dan jangan pakai bunga.
Untuk beli rumah atau tanah atau ruko bagaimana ?? Ya tetap saja jangan. Karena ada istilah "orang kaya adalah orang yang tidak punya hutang" jadi beli ini itu ya harus cash, kalau kredit berarti tidak jadi kaya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2015 saja, besaran NPL atau jumlah kredit macet perbankan nasional mencapai Rp104,99 triliun, atau sekitar 2,65 persen dari total kredit perbankan nasional yang mencapai Rp3.950,61 triliun.
Walaupun secara persentase terlihat kecil, tidak sampai tiga persen, namun kalau melihat uangnya yang sangat banyak, bisa dibayangkan dengan Rp100 triliun saja berapa besar jumlah nilai agunan yang ada di perbankan dan lembaga pembiayaan. karena yang seratus triliun itu cuma pokok yang masih harus dibayar oleh debitur.
Kalau melihat disekeliling kita, apalagi di daerah perkotaan yang padat, ada banyak sekali rumah, tanah, toko, ruko yang disegel atau dicap oleh pihak bank karena kreditnya macet, tentu saja ini merupaka aib tersendiri bagi pemilik aset tersebut. penunggakan pembayaran memiliki alasan masing-masing, ada usaha yang tidak stabil, pendapatan yang pas-passan, pengeluaran tak terduga hingga memang karena gaya hidup.
Namun alasan yang paling mendasar dari semua masalah itu cuma satu "HUTANG" ya, apa pun bentuknya, kredit konsumtif kah, modal usaha kah, KPR kah, yang jelas hutang bikin susah tidur, serasa dikejar target tiap hari, bikin stress, apalagi tidak bisa bayar. Jadi, dari peristiwa yang menimpa Pak Edi Sasmito tadi ada beberapa pelajaran yang bisa diambil,
Pertama, jangan meminjam uang dengan agunan yang nilainya tidak sesuai dengan nilai hutang, karena dari bank atau pembiayaan sendiri juga sudah punya standart untuk nilai agunan dan jumlah pinjaman, sekitar 70 sampai 90 persen, misalkan ingin meminjam Rp70 juta, maka agunan paling tidak sekitar Rp100 juta, jangan konyol hanya pinjam Rp70 juta, agunannya senilai Rp500 juta. Walaupun kita perhitungkan bisa bayar, tapi risikonya sangat besar.
Kedua, Jangan menjadikan agunan barang yang bukan hak milik kita pribadi, bank dan lembaga keuangan non-bank pun punya standart, mereka tidak akan menyetujui agunan yang bukan milik pribadi pemohon, memang bisa saja diakali, pengajuan pinjaman atas nama pemilik agunan atau pakai surat surat menyurat apa lah, namun risikonya juga sangat besar, kalau agunan adalah tempat tinggal satu-satunya kita dan keluarga, dan tidak punya rumah lain apa yang akan terjadi kalau kreditnya macet dan seandainya disita oleh bank, apalagi yang diagunkan adalah milik orang tua, saudara atau keluarga, selain mendapatkan kerugian materil, hubungan dengan keluarga pun bisa-bisa terancam.
Ketiga, Jangan main-main dengan hukum, jangan anggap gampang proses sita-menyita, tapi kalau saat ini kita mengalami masalah kredit macet atau suatu saat dihadapkan dengan kredit macet (mudahan jangan pernah, Amiiin), sebenarnya masih ada beberapa cara yang bisa kita tempuh sebelum agunannya disita, walaupun bank dan lembaga pembiayaan adalah badan hukum, tapi tetap saja isinya manusia, artinya masih bisa bernegosiasi, bisa minta keringanan pembayaran, penjadwalan ulang pembayaran, nego supaya cicilannya dibuat lebih kecil dan lebih lama, atau kalau berupa kredit yang masih jalan bisa dijual dengan cara take oper.
Keempat, Jangan mulai kebiasaan berhutang, sekali mencoba banyak yang ketagihan, kalau memang terpaksa lebih baik mencari pinjaman kepada keluarga atau orang terdekat, tapi juga pakai jaminan dan jangan pakai bunga.
Untuk beli rumah atau tanah atau ruko bagaimana ?? Ya tetap saja jangan. Karena ada istilah "orang kaya adalah orang yang tidak punya hutang" jadi beli ini itu ya harus cash, kalau kredit berarti tidak jadi kaya.
0 comments:
Post a Comment